Perkembangan Anak Usia Dini Makin Optimal Lewat Kerja Sama Keluarga dan PAUD

Last Updated: 11 Agustus 2025By Tags: , , ,

 

Dalam satu dekade terakhir, layanan pendidikan anak usia dini (PAUD) di Indonesia berkembang pesat karena dampaknya terasa luas, bukan hanya bagi anak-anak, tetapi juga orangtua dan keluarga.

Namun, di tengah masifnya layanan PAUD, anggota Early Childhood Education and Development (ECED) Council sekaligus Ketua Yayasan Cantigi, Liest Pranowo, mengatakan bahwa muncul dua kecenderungan berbeda dari kalangan orangtua.

“Kecenderungan pertama adalah orangtua yang menjadi lebih aktif dalam menstimulasi anak di rumah, terinspirasi oleh praktik pengasuhan yang dipelajari dari guru PAUD,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Kecenderungan kedua menurut Liest adalah orangtua justru merasa terbantu dan melepas tanggung jawab pengasuhan karena anak telah dititipkan di PAUD selama dua hingga tiga jam per hari.

Ia menyebutkan, kecenderungan orangtua yang semakin aktif menstimulasi anak di rumah karena terinspirasi dari pengajaran PAUD adalah hal positif.

Namun, ketika orangtua menyerahkan sepenuhnya pengasuhan ke guru PAUD, kondisi ini wajib dicermati bersama.

“Banyak orangtua yang belum menyadari bahwa mereka tetap merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak, bukan guru PAUD,” ucap Liest.

Ia menegaskan, waktu anak di layanan PAUD sangat terbatas, hanya beberapa jam dalam lima hari setiap minggunya. Sementara itu, sebagian besar waktu anak usia dini justru dihabiskan di rumah bersama keluarga.

“Tanpa dukungan penuh dari keluarga, mustahil layanan PAUD bisa bekerja sendiri dalam memastikan tumbuh kembang anak secara optimal,” kata Liest.

Padahal, masa usia dini, khususnya usia 0-5 tahun merupakan periode emas karena 90 persen volume otak manusia berkembang.

Untuk mendukung tumbuh kembang anak, dibutuhkan stimulasi yang konsisten, responsif, dan sesuai tahapan perkembangan si kecil. Liest menekankan bahwa hal ini tidak bisa ditunda.

Ia menyebut, stimulasi pada anak bukan hal yang rumit, bahkan bisa dilakukan lewat rutinitas sederhana, seperti mengobrol hangat saat makan, membaca buku cerita sebelum tidur, atau bernyanyi bersama.

“Paling penting, ada interaksi langsung antara anak dan orangtua,” jelas Liest.

Sebaliknya, ketika anak lebih banyak berinteraksi dengan layar gawai dibandingkan manusia di sekitarnya, perkembangan kognitif, sosial emosional, hingga bahasa anak bisa terhambat.

Kurangnya stimulasi langsung dari orang sekitar berdampak jangka panjang pada kemampuan belajar dan pembentukan karakter anak.

Kemitraan keluarga dan PAUD Menurut Liest, hubungan antara keluarga dan layanan PAUD seharusnya bersifat kemitraan. Keduanya saling melengkapi, bukan menggantikan peran satu sama lain. “Patut diingat bahwa PAUD bukan tempat penitipan anak, tetapi mitra orangtua. Maka, perlu strategi agar orangtua merasa dilibatkan dan didukung, bukan dihakimi atau dibebani,” kata Liest.

Sejumlah praktik baik di lapangan telah menunjukkan kemitraan antara orangtua dan PAUD bisa dibangun, bahkan dengan cara sederhana seperti berikut ini.

1. Memperkuat komunikasi antara guru dan orangtua.

Guru di sebuah PAUD di desa pinggiran Banyuwangi, rutin mengadakan “Ngopi Bareng Bunda dan Ayah” setiap bulan.

Pertemuan ini sederhana, dilakukan di teras kelas dengan suguhan teh dan pisang goreng.

Meskipun sederhana, pertemuan tersebut menjadi ruang penting bagi orangtua untuk memahami bagaimana perkembangan anak mereka dan apa yang bisa dilakukan di rumah untuk mendukungnya.

2. Menyelenggarakan pertemuan rutin dengan orangtua atau keluarga yang inklusif dan interaktif.

Di PAUD Mutiara Hati, guru mengundang ayah dan ibu untuk hadir dalam “Kelas Bermain Bersama” setiap dua minggu sekali.

Dalam sesi berdurasi satu jam, para orangtua diajak mencoba permainan sederhana, mendengarkan dongeng, dan berdiskusi singkat tentang cara menstimulasi perkembangan anak.

Salah satu peserta orangtua yang sebelumnya pasif, kini rutin mendongeng sebelum tidur setelah terinspirasi dari kelas ini. Kehadiran para ayah pun memberi warna tersendiri, memperlihatkan bahwa pengasuhan bukan hanya urusan ibu.

3. Perkuat kapasitas guru sebagai pendamping keluarga.

Guru PAUD perlu dibekali dengan pemahaman tentang pola asuh, komunikasi dengan orangtua, dan pendekatan responsif agar pertemuan berjalan efektif.

Guru di PAUD Kasih Bunda mengikuti pelatihan pengasuhan dari dinas setempat. Setelah pelatihan, guru mulai menyisipkan pesan pengasuhan dalam cerita-cerita yang disampaikan ke anak, lalu menuliskannya dalam buku penghubung yang dibaca orangtua di rumah.

Guru yang memahami prinsip pengasuhan tidak hanya mengajar anak, tetapi juga mengedukasi keluarga.

4. Kolaborasikan PAUD dan posyandu untuk edukasi orangtua

Pos pelayanan terpadu (posyandu) di Desa Cilangkap bukan hanya tempat timbang badan atau tempat pemberian makanan bergizi.

Kader dan guru PAUD bekerja sama mengajak orangtua berkumpul sejenak di bawah pohon mangga dekat balai desa. Mereka membahas tema ringan, seperti cara mengenalkan emosi anak atau pentingnya rutinitas harian.

Para ibu merasa lebih nyaman karena suasananya santai dan tidak menggurui. Bahkan, beberapa ayah mulai ikut hadir karena penasaran. PAUD yang terlibat aktif di posyandu akan memperluas jangkauan pengaruhnya pada keluarga.

5. Menggunakan grup WhatsApp sebagai ruang belajar bersama.

WhatsApp (WA) bukan sekadar tempat mengirim pengumuman. Di PAUD Cendekia, grup WA digunakan untuk berbagi video singkat tentang cara membuat mainan dari barang bekas, tips menghadapi tantrum, atau memberi semangat pada orangtua yang sedang kesulitan.

Ketika seorang ibu bercerita tentang anaknya yang susah makan, respons hangat dari guru dan sesama orangtua membuatnya merasa didengar dan tidak sendirian. Grup ini perlahan menjadi komunitas kecil yang saling menguatkan, tanpa merasa dihakimi.

6. Sediakan materi edukasi visual yang menarik dan mudah dipahami.

Di era digital, bahan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) bisa dibuat dalam format yang menarik dan mudah dibagikan.

Seorang guru PAUD di Padang, rutin membuat infografis sederhana menggunakan Canva, lalu membagikannya dalam format PDF atau gambar ke grup WA orangtua.

Topiknya mulai dari “5 Mainan Sederhana untuk Merangsang Motorik Halus” hingga “Cara Bicara Penuh Empati dengan Anak”.

Beberapa orangtua mencetak dan menempelkannya di kulkas sebagai pengingat harian. Inisiatif kecil ini memperkuat keterampilan pengasuhan dan stimulasi tanpa memaksa.

“Penting agar pendekatannya tidak menggurui. Justru harus ramah, sederhana, dan relevan dengan keseharian orangtua. Ketika orangtua merasa dihargai, mereka akan lebih terbuka untuk belajar,” kata Liest.

Ia menekankan bahwa penguatan peran keluarga dalam stimulasi anak usia dini bukan sekadar tambahan, tetapi esensial.

Oleh karena itu, Liest mengajak semua orang untuk berhenti melihat PAUD dan keluarga sebagai dua unsur terpisah.

“Anak butuh kehangatan yang berkelanjutan, baik di sekolah maupun di rumah,” tegasnya.

Liest juga mengajak para pendidik PAUD untuk terus memperkuat kapasitas mereka sebagai pendamping keluarga, bukan sekadar pengajar anak.

Dengan begitu, guru PAUD bisa menjembatani pemahaman orangtua dan menjadikan PAUD sebagai pusat belajar bersama.

“Masa depan anak tidak bisa ditunda. Stimulasi yang mereka terima hari ini akan menentukan siapa mereka di masa depan. Maka, mari kita bangun sinergi yang hangat, aktif, dan setara antara PAUD dan keluarga,” ucap Liest.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave A Comment