Kenapa Romcom Lawas Lebih Mengena di Hati?

Last Updated: 21 Agustus 2025By Tags: , ,

Pernah merasa film romcom zaman sekarang sulit membuat hati tersentuh? Banyak orang merasakan hal serupa. Ada sesuatu yang terasa kurang, entah karena latarnya terlalu sempurna, penampilan para aktornya kurang menggugah, atau cerita cintanya terasa kurang meyakinkan dan emosional. Namun di balik itu semua, ada alasan yang lebih dalam dan kompleks. Faktor-faktor dari perubahan sosial dan budaya modern ternyata turut membentuk pengalaman kita dalam menikmati kisah romansa di layar lebar.

Salah satu pergeseran besar terjadi sejak hadirnya disrupsi digital. Salah satu elemen paling ikonik dalam romcom klasik adalah “meet cute,” yaitu momen pertemuan lucu dan tak terduga yang membuat hati berdebar. Di masa lalu, adegan semacam ini terasa sangat mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Namun sejak relasi manusia lebih banyak berlangsung di dunia digital melalui media sosial dan aplikasi kencan, peluang pertemuan spontan semakin menipis. Meskipun platform digital memberi kenyamanan karena tidak harus bertemu langsung, realitasnya justru menghadirkan lebih banyak ketidakpastian dan tipu daya. Akibatnya, muncul rasa pesimis dan kekhawatiran dalam membangun hubungan. Maka ketika kita menonton film romcom modern, daya magis dari “meet cute” tidak lagi terasa seotentik dulu.

Selain itu, perkembangan kapitalisme juga memengaruhi cara pandang kita terhadap cinta. Kita kini berada di era yang oleh Fredric Jameson disebut sebagai fase akhir kapitalisme. Ini adalah masa ketika hampir segala hal termasuk cinta dan hubungan antarindividu dapat dikomodifikasi. Fenomena ini terlihat jelas dalam praktik sehari-hari, seperti penggunaan aplikasi kencan yang kini banyak berbayar. Dalam film “Materialists” karya Celine Song, misalnya, diperlihatkan bagaimana hubungan asmara diperlakukan layaknya proses seleksi kerja atau presentasi bisnis. Segala pertimbangan material menjadi bagian dari logika hubungan dan sering kali menjadi penentu masa depan sebuah relasi.

Meskipun film-film romansa klasik seperti Pride and Prejudice, Sense and Sensibility, hingga Titanic juga mengangkat isu kelas sosial dan finansial, ada perbedaan mencolok. Di masa kini, kita semakin sadar bahwa ketimpangan ekonomi bukan sekadar hambatan tetapi konsekuensi destruktif dari sistem kapitalistik yang tidak berkelanjutan. Alih-alih meromantisasi cinta lintas kelas, banyak sineas modern justru memilih untuk menyoroti sisi kelam dari ketimpangan tersebut. Inilah yang melahirkan subgenre baru yang dikenal sebagai anti-romcom.

Di luar perubahan sosial dan ekonomi, ada pula aspek emosional yang tidak bisa diabaikan yaitu nostalgia. Banyak dari kita merindukan masa ketika hidup terasa lebih ringan, sebelum media sosial hadir dan menuntut kesempurnaan dalam segala aspek. Pada dekade 1990-an hingga awal 2000-an, orang bebas mengekspresikan diri tanpa tekanan dari pencitraan digital. Tidak ada tuntutan untuk tampil sesuai algoritma atau menjaga citra pribadi. Romcom dari era itu pun terasa lebih tulus, membumi, dan menyentuh karena mewakili suasana zaman yang lebih lepas dan jujur.

Tak sedikit pula dari kita yang menonton film romcom jadul di masa kanak-kanak atau remaja. Itu adalah fase hidup yang penuh kenangan manis sebelum beban kehidupan dewasa menghampiri. Oleh karena itu, menyaksikan film-film tersebut di masa sekarang menjadi semacam terapi emosional. Ia berfungsi sebagai tempat pelarian, ruang eskapisme, dan pengingat bahwa dulu segala sesuatu terasa lebih sederhana.

Lantas apakah semua ini hanyalah persoalan pendekatan naratif antara optimisme dan pesimisme? Ataukah memang benar bahwa teknologi digital dan kapitalisme telah secara fundamental mengubah cara kita memahami cinta? Pertanyaan-pertanyaan ini masih terus diperdebatkan, tetapi satu hal pasti. Romcom jadul tetap menawarkan kenyamanan yang tak tergantikan bagi banyak orang, sebuah ruang di mana cinta masih terasa hangat, jujur, dan mungkin.

Sumber: IDN News

Berita selengkapnya dapat anda akses melalui aruna9news.com

Leave A Comment