Banyak Orang Sembunyikan Program Diet karena Takut Diejek, Ini Alasannya

Sebuah survei dari konsultan gizi The 1:1 Diet by Cambridge Weight Plan mengungkapkan bahwa satu dari tiga orang dewasa memilih merahasiakan program diet yang sedang dijalani karena merasa malu.
Biasanya, seseorang melakukan diet untuk menurunkan berat badan atau memperbaiki pola makan. Namun, sebagian besar justru memilih melakukannya secara diam-diam. Alasan utama mereka adalah takut gagal di depan orang lain dan khawatir menjadi bahan ejekan.
Fenomena ini disebut diet shaming atau perilaku mengejek atau menggoda orang yang sedang berusaha menjalani pola makan sehat. Dari 2.000 responden di Inggris, sepertiganya mengaku tidak memberi tahu siapa pun bahwa mereka sedang diet. Mereka merasa canggung dan takut dianggap berlebihan hanya karena ingin hidup lebih sehat.
Menariknya, empat dari sepuluh responden jarang bahkan tidak pernah membicarakan pola makan mereka kepada teman, rekan kerja, maupun pasangan. Sementara itu, sekitar 69 persen mengaku pernah mencoba diet setidaknya sekali dalam hidupnya, tetapi rasa malu serta minimnya dukungan sosial membuat mereka sulit mempertahankan gaya hidup sehat dalam jangka panjang.
Ahli gizi Mark Gilbert menjelaskan, diet shaming adalah salah satu hambatan besar dalam upaya mencapai hidup sehat.
“Diet seharusnya tidak dianggap hal tabu. Tidak ada yang perlu merasa malu mengubah pola makan demi kesehatan, selama tetap memperhatikan keseimbangan gizi,” ujar Gilbert dikutip dari The Independent.
Menurut Gilbert, sebagian besar orang akan berdiet di suatu fase hidup mereka, umumnya karena alasan kesehatan, bukan sekadar penampilan. Ia menilai, penting bagi masyarakat untuk mulai membicarakan diet secara terbuka agar muncul pemahaman yang lebih positif.
Namun, tekanan sosial sering membuat hal itu sulit dilakukan. Mengutip Psychology Today, Profesor Psikologi asal New York, Lawrence Josephes, menjelaskan bahwa manusia memiliki hubungan sosial yang kuat dengan makanan. Dari acara keluarga, pesta ulang tahun, hingga rapat kantor yang diselingi kudapan manis, semua berpusat pada aktivitas makan bersama.
Menolak makanan dalam situasi seperti ini sering dianggap tidak sopan atau tidak menghargai suasana. Lawrence, yang hidup dengan kondisi pradiabetes, membagikan pengalamannya menjalani diet ketat demi kesehatan. Namun, setiap kali menghadiri rapat, ia sering mendapat godaan dari rekan-rekannya.
“Mereka bilang, ‘Kamu sudah kurus, ambil satu kue aja.’ Kedengarannya sepele, tapi itu bentuk diet shaming,” tulisnya.
Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa tantangan dalam berdiet bukan hanya soal menahan godaan makanan lezat, tetapi juga menghadapi tekanan sosial dari lingkungan sekitar. Orang yang sedang berusaha makan sehat sering kali dicap “ribet”, “fanatik”, atau “nggak asik” hanya karena menolak makanan tertentu.
Padahal, banyak orang menjalani diet bukan demi penampilan, melainkan untuk menjaga kesehatan seperti menstabilkan gula darah, kolesterol, atau tekanan darah. Karena topik berat badan masih sensitif, sebagian memilih diam agar terhindar dari komentar negatif.
Psikolog sosial menilai diet shaming muncul dari dua faktor utama: budaya makan bersama yang kuat dan rasa tidak nyaman saat melihat orang lain lebih disiplin dalam menjaga pola makan. Dalam banyak kasus, ejekan terhadap pelaku diet justru berakar dari rasa bersalah atau canggung pihak lain terhadap kebiasaan makannya sendiri.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa rasa malu dan tekanan sosial memiliki dampak besar terhadap kebiasaan makan seseorang. Dalam jangka panjang, kondisi tersebut dapat menurunkan motivasi untuk hidup sehat dan membuat seseorang kembali ke pola makan lama yang tidak seimbang.
“Jika seseorang terus-menerus merasa dihakimi karena pola makannya, mereka akan lebih mudah menyerah,” tulis Psychology Today.
Sumber: Kumparan News
Berita selengkapnya dapat anda akses melalui aruna9news.com











