Hakim Vonis Bebas Polisi yang Jadi Terdakwa Kasus Pencabulan Anak di Papua

Last Updated: 18 Maret 2025By Tags: ,

Seorang polisi berpangkat Brigadir Dua dengan inisial AFH divonis bebas oleh Hakim Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura pada 20 Januari 2025 dalam kasus pencabulan anak di Papua pada 2022.

Kuasa hukum korban mengaku keberatan dan telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tim pengacara juga akan mengirim surat ke Komisi Yudisial, pada Senin (17/03), sebagai upaya untuk mencari keadilan.

“Yang kita takutkan, pelakunya sudah bertugas lagi di kesatuannya. Pelakunya sering lewat di depan rumahnya. Kita khawatir kalau korban tidak sengaja melihat pelaku lalu lalang traumanya kembali,” kata Dede Gustiawan Pagundun, pengacara korban, kepada wartawan Hilman Handoni yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Wakil Kepala Kepolisian Daerah Papua, Faizal Ramadhani, meminta BBC News Indonesia untuk mengontak Humas Polda Papua mengenai hal ini saat dimintai keterangan lewat telepon.

Humas Polda Papua belum merespons permintaan komentar mengenai hal ini. Tuduhan pencabulan terhadap korban mengemuka di Kabupaten Keerom, Papua, pada 2022. Saat itu, korban berusia lima tahun. Korban kemudian bercerita kepada kakaknya.

Keluarga korban kemudian melaporkan kasus ini ke Polda Papua pada 2023. “Enam bulan kemudian pelakunya baru ditahan,” kata Dede. Kasus ini sempat diselesaikan oleh keluarga korban dan keluarga terdakwa yang difasilitasi oleh pihak Kepolisian Polres Keerom.

Proses persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura dimulai pada 2024, kemudian hakim memberikan putusan pada Januari 2025. Majelis hakim, yang terdiri dari Hakim Ketua Zaka Talpatty, Hakim Anggota Korneles Waroi, dan Hakim Anggota Ronald Lauterboom menjatuhkan vonis bebas pada 20 Januari.

Kuasa hukum korban, Dede Gustiawan Pagundun, menuding hakim tidak melihat secara jernih fakta-fakta di persidangan. Hakim, sambungnya, hanya menyandarkan putusan pada ketiadaan saksi ketika dugaan perbuatan dilakukan. “Tapi pengakuan korban tidak dipertimbangkan hakim,” ujarnya.

Hal yang juga diabaikan hakim, kata Dede, adalah keberadaan surat kesepakatan yang dibuat antara pelaku dan keluarga korban di Polres Keerom, tempat terduga pelaku bertugas. Surat kesepatan itu antara lain memuat kesediaan terdakwa untuk membayarkan uang sebesar Rp80 juta kepada keluarga korban untuk biaya pengobatan. “Surat kesepakatan itu adalah bukti pencabulan itu,” klaim Dede.

“[Mana ada] orang yang tidak melakukan tindakan [pencabulan], tapi memberikan uang Rp80 juta? Tidak masuk akal,” sebut Dede lagi.

“Masa ada orang ada buat surat kesepakatan kalau orangnya tidak bersalah?” kilahnya.

Ilustrasi.

Berita selengkapnya dapat Anda akses melalui –  aruna9news.com

Kondisi korban dan trauma lanjutan

Kakak korban menyampaikan kekecewaannya atas putusan hakim terhadap kasus pencabulan yang dialami oleh adiknya sebagai korban.

“Saya kakak dari korban mewakili keluarga ingin menuntut putusan dari hakim yang membuat saya dan keluarga saya sangat kecewa, karena terdakwa dibebaskan tanpa adanya hukuman apapun,” ungkapnya, sebagaimana dikutip Kompas.com.

Dede selaku kuasa hukum korban mengatakan keluarga korban masih rutin memeriksakan kondisi kesehatan korban, termasuk kondisi mentalnya.

“Tapi yang kami takutkan [terdakwa] pelakunya sudah bertugas lagi di kesatuannya. Kalau [terdakwa] pelakunya sering lewat di depan rumahnya, kita khawatir korban tidak sengaja melihat [terdakwa] pelaku, traumanya kembali,” kata Dede.

Ayah korban juga sudah melaporkan kasus ini kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Papua serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Keerom.

Pegiat anak ‘kecewa berat’ pada putusan pengadilan

Pegiat perempuan dan perlindungan anak sekaligus Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan, Siti Mazumah, mengaku kecewa berat dengan putusan pengadilan tersebut.

“Putusan ini sudah mencederai keadilan bagi korban kekerasan seksual apalagi dia masih anak,” cetusnya.

Lebih lanjut dia mendesak agar hakim yang memutuskan perkara ini diperiksa oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Hukuman bagi terdakwa pelaku, menurutnya, juga harusnya lebih berat, karena yang bersangkutan adalah penegak hukum yang seharusnya mempedomani undang-undang dan aturan hukum.

“Aparat yang sudah melanggar UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan Kode Etik Kepolisian, konsekuensinya harus lebih berat,” tegas Siti Mazumah.

Untuk memastikan keamanan dan hak-hak korban, kata Siti, lembaga perlindungan saksi dan negara seharusnya hadir.

“Budaya impunitas pelaku tidak dapat dibenarkan karena itu juga dapat dikategorikan menghalang-halangi proses penegakan hukum yang hanya menambah penderitaan korban dan menjatuhkan marwah lembaga peradilan,” ungkapnya.

Karena kasus ini terjadi pada 2022, menurut Siti, dasar hukum untuk kasus ini juga bisa memakai UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Dengan penggunaan UU ini, maka pelaku diharuskan untuk membayar restitusi dan ganti rugi kepada korban.

Korban juga berhak atas pemulihan psikologis, akses pendidikan, dan keamanan diri korban dan keluarga,” tutupnya.

Berita selengkapnya dapat Anda akses melalui –  aruna9news.com

Ilustrasi.

Darurat kekerasan seksual terhadap anak

Sebelumnya, mantan Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, resmi ditetapkan sebagai tersangka atas sejumlah dugaan pelanggaran berat, termasuk pelecehan seksual terhadap anak-anak.

Sebanyak empat korban kekerasan seksual AKBP Fajar terdiri dari seorang anak berusia 6 tahun, seorang anak berusia 13 tahun, seorang anak berusia 16 tahun, dan perempuan berusia 20 tahun.

Dalam kasus lain, pada Januari 2024, sedikitnya 24 siswi sekolah dasar menjadi korban pencabulan oknum guru agama di Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Pencabulan tersebut dilakukan pelaku terhadap para korban sejak Desember 2023 hingga Januari 2024 saat pelajaran agama di kelas dan saat kegiatan perkemahan.

Sementara di Kota Pekanbaru, Riau, terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak Taman Kanak-kanak (TK) berusia lima tahun kepada teman sekelasnya. Peristiwa diduga terjadi pada Oktober 2023 dan baru diketahui pada awal November 2023.

Pada September 2024, terjadi pencabulan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh kepala sekolah berinisial J (41) terhadap anak perempuan berinisial T (13) yang duduk di bangku sekolah dasar (SD) di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

Pada Oktober 2024, video kekerasan seksual yang melibatkan guru dan murid di Kabupaten Gorontalo, beredar di media sosial. Dalam kasus tersebut, seorang siswi menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh gurunya berinisial DH (57). Pelaku DH diduga mendekati korban sejak 2022.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat bahwa data kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan selama lima tahun terakhir. Untuk kasus kekerasan seksual pada 2019 ada 6.454 kasus, dan pada 2023 mencapai 10.932 kasus.

Sumber : https://www.bbc.com/indonesia

Leave A Comment