Wawancara Joko Anwar: Keresahan sebagai Warga Negara dalam Film Pengepungan di Bukit Duri
Sutradara Joko Anwar kembali dengan film terbarunya, Pengepungan di Bukit Duri (The Siege at Thorn High), yang untuk pertama kalinya mengusung genre thriller-aksi. Berbeda dari karya-karyanya yang sebelumnya lebih banyak berfokus pada horor dan drama, film ini mengangkat isu sosial yang menurutnya relevan dan mendesak untuk dibahas.
Diproduksi oleh Come and See Pictures bersama Amazon MGM Studios, film ini dijadwalkan tayang di Indonesia pada 17 April 2025. Deretan pemainnya mencakup nama-nama seperti Morgan Oey, Hana Malasan, Omara Esteghlal, Endy Erfian, Fatih Unru, serta beberapa talenta baru dalam perfilman Indonesia.
Refleksi Keresahan Sosial
Film ini lahir dari kegelisahan pribadi Joko Anwar mengenai berbagai isu sosial di Indonesia. Berlatar tahun 2027, Pengepungan di Bukit Duri menggambarkan kondisi negara yang berada di ambang kehancuran akibat ketegangan sosial, diskriminasi, dan kebencian rasial. Di tengah situasi kacau, Edwin, seorang guru di SMA Duri, harus menghadapi situasi mencekam saat sekolahnya berubah menjadi medan pertempuran.
Dalam wawancara dengan Tempo pada 30 Januari 2025, Joko Anwar menyoroti berbagai persoalan yang diangkat dalam film ini, termasuk kurangnya apresiasi terhadap profesi guru, meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, serta masih kuatnya isu rasisme di Indonesia. Menurutnya, sistem pendidikan belum mampu membentuk generasi yang dapat membawa perubahan positif karena minimnya dukungan terhadap guru serta sistem yang sering kali dipolitisasi.
Pendidikan yang Dipolitisasi
Joko Anwar menilai bahwa sistem pendidikan di Indonesia kerap dijadikan ajang eksperimen oleh pemangku kebijakan, bukan sebagai institusi yang benar-benar membangun karakter dan kecerdasan generasi muda. Kurikulum dan sistem pendidikan sering kali berubah tanpa mempertimbangkan solusi jangka panjang, melainkan lebih berorientasi pada pencitraan politik.
Isu Rasisme dalam Film
Pemilihan karakter utama Edwin, yang diperankan oleh Morgan Oey, sebagai sosok keturunan Tionghoa juga bukan tanpa alasan. Joko Anwar menjelaskan bahwa diskriminasi terhadap etnis tertentu dalam film ini adalah cerminan dari bagaimana perbedaan masih sering digunakan sebagai alat politik di Indonesia. Alih-alih menjadi kekuatan, perbedaan etnis dan agama masih sering dipelihara demi kepentingan tertentu.
Eksplorasi Genre Film ke Depannya
Meskipun dikenal lewat karya-karya horor yang sukses, Joko Anwar menegaskan bahwa dirinya tidak terpaku pada satu genre tertentu. Ia memilih membuat film berdasarkan isu-isu yang menurutnya penting dan relevan pada masanya. Misalnya, meningkatnya kasus kekerasan murid terhadap guru menjadi salah satu faktor yang mendorongnya menciptakan Pengepungan di Bukit Duri.
Ke depannya, eksplorasi genre Joko Anwar akan bergantung pada keresahan yang ia rasakan sebagai warga negara dan pembuat film, menjadikannya sebagai refleksi dari realitas sosial yang ada.
sumber: tempo.com
Berita selengkapnya dapat anda akses di Aruna9news.com