Maraknya Tren Diet Ekstrem di Kalangan Remaja: Media Sosial Jadi Pemicu Gangguan Makan
Belakangan ini, banyak remaja tergiur mencoba diet ekstrem seperti diet keto ketat, puasa intermiten, hingga pantang karbohidrat total, lantaran terpengaruh konten viral di media sosial. Mereka tidak menyadari bahwa pada masa remaja, tubuh masih dalam fase pertumbuhan, sehingga pembatasan asupan nutrisi justru bisa berakibat buruk. Selain mengganggu metabolisme, pola makan yang tidak seimbang ini juga dapat memicu ketidakseimbangan hormon serta masalah menstruasi.
Alih-alih menjadi lebih sehat, banyak remaja justru mengalami kelelahan berkepanjangan, sulit berkonsentrasi saat belajar, hingga merasa depresi. Bahkan, tidak sedikit yang akhirnya jatuh ke dalam gangguan makan seperti anoreksia dan bulimia, yang berpotensi memerlukan perawatan di rumah sakit atau menimbulkan trauma psikologis jangka panjang.
Situasi semakin diperparah oleh banyaknya influencer yang mempromosikan produk penurun berat badan, seperti pil diet dan minuman detoks, tanpa bukti ilmiah yang kuat. Konsumsi produk semacam ini tanpa pengawasan tenaga medis berisiko menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan. Jumlah remaja perempuan yang mengalami anoreksia, bulimia, dan gangguan makan berlebihan pun meningkat, meskipun kini kasus di kalangan remaja laki-laki juga mulai menunjukkan tren serupa.
Sebuah laporan yang diterbitkan di The American Journal of Clinical Nutrition pada 2019 mencatat, persentase orang yang pernah mengalami gangguan makan sepanjang hidup mereka melonjak dari 3,5 persen pada tahun 2000 menjadi 7,8 persen pada tahun 2018. Lonjakan ini bertepatan dengan pesatnya perkembangan media sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Marie Galmiche dan timnya tersebut menganalisis 94 studi dengan diagnosis gangguan makan yang valid, serta 27 studi lainnya dengan definisi yang lebih luas. Hasilnya menunjukkan bahwa gangguan makan merupakan masalah global yang signifikan, terutama dialami perempuan, dan prevalensinya terus meningkat.
Menurut Nathalie Godart, seorang psikiater anak dan remaja di Student Health Foundation of France, media sosial bukanlah penyebab tunggal, tetapi bisa menjadi pemicu yang memperburuk kondisi orang-orang yang rentan. Ia menekankan bahwa promosi tubuh kurus, diet ketat, dan olahraga berlebihan di media sosial dapat melemahkan mental remaja dan berdampak pada kesehatan mereka.
Literasi digital menjadi kunci penting. Ketika algoritma media sosial lebih sering menampilkan tubuh ideal, banyak remaja merasa gagal karena bentuk tubuh mereka berbeda dari yang ditampilkan di layar. Hal ini menimbulkan distorsi citra diri dan membuat remaja membenci tubuhnya sendiri. Godart menegaskan perlunya pendekatan kolektif: remaja harus dibekali kemampuan berpikir kritis agar bisa memilah informasi yang mereka lihat di media sosial. Selain itu, penting untuk menanamkan nilai penerimaan terhadap keberagaman bentuk tubuh, serta pemahaman bahwa kesehatan tidak bisa diukur dari penampilan saja.
Dukungan terhadap layanan kesehatan mental pun perlu diperluas. Gangguan makan bukan sekadar mencari perhatian, melainkan kondisi serius yang dapat mengancam nyawa. Para profesional kesehatan yang membantu remaja pulih dari gangguan makan kini menghadapi tantangan baru, yakni melawan arus informasi menyesatkan yang disebarkan influencer di platform seperti TikTok dan Instagram.
“Sekarang kita tidak bisa menangani gangguan makan tanpa juga memperhatikan dampak media sosial,” kata Carole Copti, ahli gizi asal Prancis. “Media sosial menjadi pemicu yang kuat sekaligus penghambat pemulihan.”
Senada dengan itu, Charlyne Buigues, seorang perawat spesialis gangguan makan di Prancis, mengatakan bahwa banyak pasien dengan gangguan makan memiliki masalah harga diri yang rendah, yang kerap diperburuk oleh paparan media sosial.
Sumber : kompas
Berita selengkapnya dapat Anda akses melalui aruna9news.com