DPR sahkan Revisi UU TNI, mahasiswa gelar demonstrasi di berbagai kota – ‘Demokrasi telah dibunuh di DPR

Sejumlah pendemo berdatangan ke gedung DPR guna menentang revisi UU TNI yang baru disahkan pada Kamis
Walaupun mendapat penolakan di masyarakat, DPR tetap mengesahkan revisi UU TNI dalam rapat paripurna pada Kamis (20/03) pagi. Mahasiswa dan pegiat prodemokrasi mengancam akan menggelar unjuk rasa untuk menolaknya.
Rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis (20/03) pagi menyetujui pengesahan Undang-Undang (UU) TNI.
Semua fraksi DPR menyetujui pengesahan itu.
“Apakah dapat disetujui rancangan UU TNI menjadi UU?” Tanya Ketua DPR Puan Maharani di ruangan sidang. “Setuju!” Suara anggota DPR yang memenuhi ruangan paripurna.
Ketika para politikus dan perwakilan pemerintah memberikan sambutan atas pengesahan itu, puluhan orang menggelar unjuk rasa di depan dan belakang gedung DPR.
Di belakang gedung DPR, ada belasan anak-anak muda memasang tenda dan membentangkan spanduk.
Mereka menyuarakan sikap menolak revisi UU TNI.
Pada saat bersamaan, massa pendemo juga mendatangi depan gedung DPR.
“Mereka menolak revisi UU TNI yang baru disahkan,” kata wartawan BBC News Indonesia, Silvano Hajid, yang berada di lokasi unjuk rasa mahasiswa.

Massa membentangkan spanduk menolak revisi UU TNI di depan Gedung DPR, Kamis (20/03).
Demokrasi telah dibunuh di DPR’
Salah seorang pengunjuk rasa adalah Wilson, aktivis organisasi Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI).
IKOHI adalah organisasi yang didirikan oleh para keluarga korban penculikan aktivis pada 1997-1998.
Wilson juga pernah aktif Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan pernah dipenjara di masa rezim Suharto karena pilihan politiknya.
Kepada wartawan BBC News Indonesia, Silvano Hajid, Wilson menganggap pengesahan revisi UU TNI ini sebagai simbol “demokrasi telah dibunuh” oleh DPR.
“Esensi demokrasi adalah militer tidak boleh berpolitik. Militer hanya mengurus barak dan pertahanan negara,” kata Wilson
“Tapi kita lihat partai-partai di DPR, berkolaborasi bersama-sama Presiden fasis Prabowo membunuh demokrasi,” tegasnya.
Dia lalu menganalisa, sejak 1998 terjadi pembunuhan secara ‘merangkak’ terhadap demokrasi.
Pelakunya disebut Wilson sebagai “Neo Orba dan “Reformis gadungan”.
“Dan hari ini adalah puncaknya,” tandasnya.

Massa aksi yang tergabung dalam Koalisi Makassar Tolak RUU TNI, melakukan demo di depan gerbang DPRD.
Di Makassar, mahasiswa gelar demo tolak UU TNI
Tidak hanya di Jakarta, mahasiswa dan masyarakat sipil di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) juga melakukan demonstrasi didepan gedung DPRD Sulsel, Jalan Urip Sumoharjo, Kamis (20/03).
Mereka mendesak pemerintah dan DPR agar membatalkan pengesahan RUU TNI, seperti dilaporkan wartawan di Makassar, Darul Amri, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Massa aksi yang tergabung dalam Koalisi Makassar Tolak RUU TNI, melakukan demo di depan gerbang DPRD.
Mereka membentangkan spanduk tertulis “Melawan Lupa Tragedi 98 Tolak RUU TNI”.
Selain itu, mereka juga membawa belasan pataka bertuliskan berbagai unek-unek terkait TNI, seperti “Pukul Balik Militer”, “#TolakRUUTNI”, “Kembalikan TNI ke Barak”, “TNI Tidak Pernah Demokratis”.
Humas Koalisi Makassar Tolak RUU TNI, Ahkamul Ihkam mengatakan, Koalisi Makassar Tolak RUU TNI sudah berlangsung beberapa hari ini.
Penolakannya juga tidak hanya lewat demo saja, tapi juga diskusi.
“Kami dari Koalisi Makassar tolak RUU TNI, satu tuntutan utama adalah gagalkan RUU TNI dimana penolakan terhadap proses pengesahan RUU ini sudah dilakukan beberapa waktu lalu, kemarin kami sudah melakukan diskusi tapi nyatanya DPR abaikan protes dari rakyat,” tegas Akhmal di lokasi aksi.
“Beberapa daerah juga menolak RUU TNI disahkan termaksud Makassar, makanya hari ini kami tetap menyampaikan bahwasanya apa yang dilakukan DPR hari ini dengan mengesahkan RUU TNI menjadi UU itu tanpa persetujuan rakyat dibeberapa daerah, tentunya kurang lebih seperti itu,” sambungnya.
Sampai sekitar pukul 15.00 WITA, puluhan massa dari Koalisi Makassar Tolak RUU TNI masih melakukan aksi.
Mereka juga sudah bergeser ke bawah jalan layang Flyover Pettarani.
Bantahan dari para politikus di DPR
Sebelumnya pada Rabu (19/03), Komisi I DPR dan pemerintah telah sepakat untuk membawa revisi UU TNI ke rapat paripurna DPR pada Kamis (20/03) untuk disahkan.
Sikap DPR mengesahkan RUU TNI menjadi UU bertolak belakang dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Kalangan akademisi, mahasiswa, aktivis prodemokrasi, serta LSM, terus menyuarakan aspirasinya untuk menolak revisi UU TNI.

Koalisi Masyarakat Sipil membacakan pernyataan yang isinya menolak revisi UU TNI, Senin, 17 Maret 2025.
Pada Kamis (20/03), mahasiswa d
ari sejumlah perguruan tinggi di sejumlah kota menyatakan akan menggelar unjuk rasa untuk menolak pengesahan UU itu.
Mereka menganggap revisi itu membuka peluang bagi munculnya kembali praktek Dwifungsi ABRI seperti di masa rezim Suharto berkuasa.
Anggapan seperti ini ditolak oleh para politikus di DPR. Mereka mengeklaim revisi UU TNI ini justru untuk memagari agar TNI tidak kembali berpolitik.
Setidaknya ada tiga pasal yang direvisi, tetapi yang paling dikritik adalah pasal yang memberi jalan bagi perwira TNI menduduki posisi penting di sejumlah lembaga pemerintah atau kementerian.
Pasal-pasal apa saja yang direvisi?
Di ruangan rapat paripurna DPR, Kamis (20/03), Ketua DPR Puan Maharani kemudian menjelaskan tiga pasal dalam UU TNI yang sudah direvisi dan disahkan.
Pertama, Pasal 7, yaitu terkait tugas pokok TNI operasi militer selain perang (OMSP).
“Pasal ini menambah cakupan dari 14 tugas pokok menjadi 16 tugas pokok,” kata Puan.
Dia kemudian menjelaskan penambahan dua tugas pokok tersebut.

Ketua Komisi I DPR Utut Adianto di hadapan Ketua DPR Puan Maharani (kedua kanan) usai pengesahan UU TNI di Rapat Paripurna DPR, Kamis (20/03).
“Yaitu meliputi membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber, dan membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri,” ungkapnya.
Kedua, Pasal 47, terkait penempatan prajurit TNI pada kementerian dan lembaga.
“Sebagaimana diketahui, prajurit aktif dapat menduduki jabatan di kementerian dan lembaga yang semula 10 menjadi 14, berdasarkan permintaan pimpinan kementerian dan lembaga,” kata Puan.
Kementerian/lembaga yang dimaksud adalah kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/atau sandi negara.
Kemudian, lembaga ketahanan nasional, pencarian dan pertolongan, narkotika nasional, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.
Prajurit TNI aktif harus mundur atau pensiun jika mengisi jabatan di luar 14 kementerian/lembaga sipil tersebut.
Di sini, Puan kemudian menggarisbawahi, “dan tetap tunduk kepada ketentuan administrasi yang berlaku di lingkungan kementerian dan lembaga tersebut.”
Di luar itu, demikian Puan, TNI dapat menempati jabatan sipil lainnya setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Ketiga, Pasal 53, terkait penambahan masa dinas keprajuritan.
“Pada pasal ini mengalami perubahan masa bakti, yang semula diatur paling tinggi 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun untuk bintara dan tamtama. Masa dinas ini mengalami penambahan sesuai jenjang kepangkatan,” jelasnya.
Di akhir pidatonya, Puan menyatakan bahwa revisi UU TNI ini tetap berlandaskan pada “nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, HAM serta memenuhi ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah disahkan.”
Dalam sambutannya, Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan TNI “tidak akan mengecewakan rakyat”.
Dia juga menyebut bahwa TNI adalah “tentara rakyat” dan “profesional” dalam menjaga kedaulatan rakyat.
“Kami tidak akan pernah mengecewakan rakyat Indonesia di dalam menjaga kedaulatan negara,” kata Sjafrie.
Berita ini akan diperbarui secara berkala.
Berita selengkapnya dapat anda akses di aruna9news.com
Sumber – https://www.bbc.com/