Gambaran Kelam Kondisi Wisata Alam Pangalengan
Potret Suram Pariwisata Alam Pangalengan: Ketidaksiapan Warga Jadi Tuan Rumah Wisata
Pangalengan, sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Bandung, dikenal sebagai salah satu tujuan wisata unggulan di Jawa Barat. Namun, kunjungan kami ke sana justru meninggalkan kesan yang kurang menyenangkan.
Berlokasi sekitar 1.550 meter di atas permukaan laut dan berjarak sekitar 40 km dari Kota Bandung, wilayah ini menawarkan udara sejuk dan panorama yang menakjubkan. Pangalengan dikenal dengan beragam destinasi menarik seperti perkebunan teh, sumber air panas, danau, serta situs-situs budaya.
Beberapa tempat wisata yang populer di antaranya Situ Cileunca, kolam air panas Cibolang, Kampung Adat Cikondang, Imah Hideung, serta makam tokoh astronomi Bosscha. Selain itu, ada juga kawasan konservasi seperti Cagar Alam Gunung Tilu dan Malabar, serta air terjun Curug Penganten.
Dengan udara sejuk dan lanskap yang memanjakan mata, tak heran jika Pangalengan menjadi salah satu representasi keindahan “Bumi Pasundan” yang digambarkan MAW Brouwer sebagai ciptaan Tuhan di saat tersenyum.
Tertarik akan pesona alamnya, saya memutuskan untuk menjelajahinya sambil mencoba kendaraan listrik yang dirancang untuk medan menanjak. Namun, pengalaman yang saya ingin bagi di sini bukan soal kendaraan, melainkan kondisi nyata dunia pariwisata dan kesiapan masyarakatnya.
Seperti yang tercermin dari judul, ini adalah gambaran tentang destinasi wisata dan mentalitas warganya—potret yang tampaknya juga mencerminkan banyak lokasi wisata lainnya di tanah air, meskipun tentu tidak semuanya serupa.
Pada hari Minggu, 1 Juni 2025, selepas mengisi daya kendaraan dan makan siang di Bandung, kami berangkat menuju Pangalengan sekitar pukul satu siang. Kami sempat beristirahat dan salat di kawasan Dayeuhkolot sebelum melanjutkan perjalanan melalui jalan yang berliku dan sempit, hanya terdiri dari satu jalur untuk naik dan turun, yang cukup sulit untuk mendahului kendaraan lain.
Arus lalu lintas cukup padat karena bertepatan dengan akhir pekan panjang. Jalur turun sangat ramai, tapi jalur menuju atas juga tak kalah padat. Kecepatan kendaraan hanya bisa dipertahankan sekitar 15–20 km/jam. Sepeda motor mendominasi jalanan, dan sayangnya, banyak pengendara yang tidak menggunakan helm.
Dalam keramaian itu, tiba-tiba terdengar teriakan bernada kasar. Saya menoleh dan ternyata sumbernya berada tepat di belakang mobil saya. Istri saya meminta saya sedikit menepi. Tiga motor yang dikendarai pemuda melaju dari sisi kanan sambil membawa seorang remaja yang tampak lemah, entah sakit atau dalam kondisi tidak sadar. Mereka tetap memaki sambil melintas.
Saya mencoba mengejar mereka, penasaran dengan alasan makian tersebut. Namun karena motor lebih lincah dalam kepadatan lalu lintas, usaha saya sia-sia. Saya pun bingung: apakah saya terlalu ke kanan sehingga menyulitkan mereka menyalip? Padahal, saya justru memberikan ruang di sisi kiri untuk para pengendara roda dua.
Setiba di atas, sebuah slogan promosi produk lokal bertuliskan, “Jangan Tinggalkan Bandung Selatan Tanpa Kue Pia…” terpampang. Namun, saya kehilangan selera. Meski begitu, istri tetap membeli produk tersebut. Suhu 18 derajat yang seharusnya menyejukkan justru terasa panas di hati.
Inilah realita di lapangan. Sebuah destinasi wisata yang menjanjikan keindahan, namun disambut dengan perilaku warga yang jauh dari ramah. Ini menjadi gambaran nyata bagaimana kesiapan masyarakat sebagai pelaku utama dalam industri pariwisata masih sangat memprihatinkan.
Padahal, sektor pariwisata menjadi andalan pendapatan daerah. Ini merupakan pekerjaan rumah besar bagi pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan lainnya. Masyarakat di wilayah wisata perlu dibina dan disiapkan untuk menyambut para pelancong, jika ingin menjadikan pariwisata sebagai tulang punggung ekonomi lokal.
Tantangan ini juga menjadi perhatian bagi tokoh-tokoh daerah seperti Kang Dedy Mulyadi. Bagaimana menanamkan kesiapan mental kepada warga? Di sinilah peran penting Dinas Pariwisata dan lembaga terkait di berbagai tingkatan untuk bekerja sama secara intensif.
Pelibatan berbagai elemen masyarakat seperti komunitas lokal, LSM, dan organisasi masyarakat menjadi bagian penting dalam membentuk warga yang sadar pariwisata. Masyarakat harus memiliki sikap terbuka, sabar, ramah, dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik dalam menghadapi wisatawan.
Lebih dari itu, masyarakat juga perlu diberi pemahaman tentang pentingnya pelayanan yang berorientasi pada kenyamanan pengunjung, memahami potensi objek wisata yang ada, serta mampu menjadi agen promosi daerah mereka.
Untuk mewujudkan itu, perlu strategi yang tepat dalam membangun dan memelihara mental sadar wisata. Kesadaran bahwa mereka adalah tuan rumah harus tertanam dalam keseharian masyarakat di destinasi wisata.
Selain aspek mentalitas, pemerintah daerah juga harus berani berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur dan fasilitas pendukung. Pemerataan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal menjadi faktor krusial agar mereka merasa memiliki dan terdorong menjaga pariwisata dengan sepenuh hati.
Pelatihan di bidang kepariwisataan, promosi destinasi, pembentukan kelompok sadar wisata, dan pemberdayaan berbasis potensi lokal harus terus didorong.
Masih banyak ditemukan praktik “aji mumpung” yang merugikan pengunjung, seperti tarif parkir yang tak masuk akal, harga makanan yang melambung, atau pungutan liar dari petugas wahana. Semua itu harus segera dihentikan, karena jika dibiarkan, akan menjadi bumerang yang merusak reputasi daerah.
Tak kalah penting, konsep pengelolaan wisata masa kini juga harus selaras dengan prinsip ramah lingkungan. Pengurangan limbah, efisiensi energi, dan penerapan prinsip berkelanjutan harus menjadi bagian dari tata kelola destinasi.
Jika ditambah dengan upaya konservasi—seperti menjaga kelestarian alam dan keanekaragaman hayati—maka nilai destinasi wisata tersebut akan meningkat secara signifikan dan berkelanjutan.
Sumber : detiktravel
Berita selengkapnya dapat anda akses melalui aruna9news.com