Heboh Eropa Sanggup Bikin Gerhana Buatan yang Bisa Diatur
Gerhana Matahari total merupakan fenomena astronomi yang langka dan sangat dinantikan. Setelah peristiwa mengesankan yang terjadi di Amerika Utara pada 8 April 2024, peristiwa serupa baru akan kembali terjadi secara global pada akhir tahun 2026, dan Amerika Serikat baru akan menyaksikannya kembali pada tahun 2044. Menyadari kelangkaan ini, para ilmuwan dari Badan Antariksa Eropa (European Space Agency/ESA) berupaya menciptakan solusi inovatif: membuat gerhana buatan yang dapat direkayasa hampir setiap hari sesuai kebutuhan ilmiah.
Alih-alih mengandalkan posisi Bulan yang tepat untuk menciptakan gerhana alami, para ilmuwan ESA memanfaatkan teknologi dua satelit yang bekerja secara sinergis. Satelit pertama, yang disebut Occulter, bertugas menghalangi cahaya Matahari dan menciptakan bayangan, sementara satelit kedua, Coronagraph, menerima bayangan tersebut dan merekam atmosfer luar Matahari—yang dikenal sebagai korona. Ini memungkinkan para peneliti untuk mempelajari bagian Matahari yang biasanya tersembunyi oleh cahaya silau bintang tersebut.
Korona Matahari sangat penting karena merupakan sumber dari angin Matahari dan berbagai fenomena cuaca antariksa, termasuk lontaran massa korona (coronal mass ejection/CME) yang dapat mengganggu sistem komunikasi, perangkat elektronik, dan jaringan listrik di Bumi. Suhunya bahkan bisa mencapai lebih dari satu juta derajat Celsius, jauh lebih panas dibandingkan permukaan Matahari sendiri.
Proyek Proba-3 ESA, yang diluncurkan dari Pusat Antariksa Satish Dhawan di Sriharikota, India pada September 2023, melibatkan dua satelit yang akan bergerak dalam formasi dengan jarak sekitar 150 meter di antara keduanya. Dengan presisi tinggi, keduanya akan sejajar dengan Matahari, sehingga Occulter mampu memproyeksikan bayangan tepat ke Coronagraph, memungkinkan pengamatan korona pada radius 1,1 hingga 3 kali jari-jari Matahari.
Menurut Dietmar Pilz, Direktur Teknologi, Rekayasa, dan Kualitas ESA, proyek ini memerlukan tingkat presisi yang sangat tinggi. Ketidaktepatan sekecil apa pun dapat menyebabkan kegagalan. Proyek ini sendiri merupakan hasil kolaborasi negara-negara anggota ESA, terutama Spanyol dan Belgia.
Metode ini mengatasi keterbatasan teleskop berbasis darat dan luar angkasa konvensional yang menggunakan cakram penghalang (occulting disk) untuk meniru efek gerhana, namun sering kali terganggu oleh difraksi cahaya yang merusak kualitas citra. Dengan memisahkan cakram dan instrumen perekam secara fisik di ruang angkasa, ESA dapat memperoleh gambar korona yang lebih tajam dan detail.
Keunggulan lainnya, gerhana buatan ini dapat berlangsung lebih lama dari gerhana alami. Proba-3 dirancang untuk menghasilkan gerhana buatan selama enam jam dalam sekali peristiwa, yang akan terjadi otomatis setiap 19 jam 36 menit saat mencapai titik tertinggi dalam orbit elipsnya, yaitu sekitar 60.527 km dari permukaan Bumi. Di ketinggian ini, gangguan atmosfer, gravitasi, dan medan magnet Bumi dapat diminimalkan, sehingga observasi korona menjadi lebih optimal.
Peluncuran kedua satelit Proba-3 dilakukan dari fasilitas Redwire Space di Kruibeke, Belgia, tempat keduanya menjalani pengujian pra-penerbangan. Sebelumnya, tim sempat merencanakan pengujian perangkat keras saat Gerhana Matahari Total 8 April 2024 di Amerika Serikat, termasuk pengujian roda filter polarisasi dan teknologi LED, namun rencana tersebut dibatalkan. Meski demikian, gerhana tersebut tetap dimanfaatkan oleh NASA untuk berbagai eksperimen, seperti mengejar gerhana menggunakan pesawat jet dan pengamatan atmosfer atas dengan roket.
Misi Proba-3 direncanakan berlangsung selama dua tahun, dan bisa diperpanjang jika bahan bakar untuk menjaga formasi satelit tetap mencukupi. Selain membuka jendela baru dalam studi korona Matahari, misi ini juga menjadi tonggak penting dalam demonstrasi teknologi penerbangan formasi dengan presisi tinggi hingga ke tingkat milimeter. Sistem navigasinya mencakup kombinasi teknologi navigasi satelit, sinyal radio, kamera optik dengan penanda LED, hingga sinar laser yang dipantulkan antara kedua pesawat.
Sumber : detik
Berita selengkapnya dapat anda akses melalui aruna9news.com