Klarifikasi Publik: Kenapa Semua Terdengar Sama?

Last Updated: 21 Juli 2025By

Kenapa Klarifikasi Sering Terdengar Sama?

Di era digital, klarifikasi bukan lagi sekadar permintaan maaf. Ia telah menjadi seni tersendiri dalam dunia komunikasi publik. Sayangnya, banyak pernyataan klarifikasi justru terdengar mirip: formal, datar, dan tidak menjawab rasa penasaran publik.

Inilah yang menjadi bahasan utama di episode perdana podcast Humas, Humasin Aja!, sebuah podcast yang mengupas tuntas dunia kehumasan dengan gaya yang ringan, kritis, dan menghibur.

Podcast Humas, Humasin Aja! – Siapa Saja Di Balik Mic?

Dipandu oleh tiga host dengan latar belakang berbeda:

  1. Putri – Penikmat klarifikasi selebriti, bukan praktisi PR, tapi punya mata tajam soal komunikasi
  2. Jeslin – Anak agensi yang biasa meredam krisis klien lewat caption dan copy yang
  3. Salma – Mantan humas profesional yang sudah menulis pernyataan permintaan maaf untuk berbagai figur publik.

Bersama mereka membahas dinamika klarifikasi yang sering kali dianggap remeh, padahal memiliki dampak besar pada reputasi individu atau organisasi.

Di era digital, klarifikasi bukan lagi sekadar permintaan maaf. Ia telah menjadi seni tersendiri dalam dunia komunikasi publik. Sayangnya, banyak pernyataan klarifikasi justru terdengar mirip: formal, datar, dan tidak menjawab rasa penasaran publik.

“Kami mohon maaf sebesar-besarnya.”

“Kami sedang melakukan investigasi internal.”

“Kami tidak mengetahui adanya aktivitas tersebut.”

Kalimat-kalimat ini mungkin sudah sangat familiar. Hampir semua institusi, selebriti, bahkan brand, menggunakan diksi yang serupa dalam pernyataan publik mereka. Menurut Putri, hal ini membuat klarifikasi terasa seperti formalitas belaka, bukan bentuk komunikasi yang tulus.

Jeslin menambahkan, kadang klarifikasi terasa tidak masuk akal. Misalnya, ketika seseorang mengaku akunnya diretas, padahal video yang tersebar justru memperlihatkan wajahnya sendiri secara jelas. Publik, terutama di media sosial, semakin cermat dan kritis terhadap pola-pola ini.

Menurut Salma, sebuah klarifikasi seharusnya memiliki tiga elemen utama:

  1. Mengakui kesalahan secara jelas
  2. Memberikan konteks secara jujur
  3. Menawarkan solusi atau komitmen perbaikan

Sayangnya, banyak pernyataan justru berhenti di kalimat maaf, tanpa penjelasan ataupun tanggung jawab.

Simulasi: “Coba Lo Jadi Humasnya!”

Lewat simulasi ini, para host tidak hanya mengajak pendengar untuk berpikir kritis, tetapi juga membuktikan bahwa membahas isu komunikasi publik tidak harus selalu formal dan menegangkan. Untuk membuktikan bahwa membuat klarifikasi bukan perkara mudah, para host memainkan simulasi bernama “Coba Lo Jadi Humasnya”. Salah satu kasus yang mereka angkat, yaitu seorang selebriti marah-marah di restoran karena makanannya tidak kunjung datang, dan videonya tersebar luas.

Beberapa respons yang muncul antara lain:

Versi humor: “Kami minta maaf. Seleb kami lapar. Kalau kenyang, dia baik kok.” Versi sinis: “Kami paham bahwa tidak semua restoran cepat saji… sajiannya cepat.”

Versi profesional: “Kami mohon maaf atas kejadian tersebut. Kami sedang berdiskusi dengan pihak terkait dan akan memastikan hal serupa tidak terulang kembali.”

Klarifikasi yang Justru Memicu Amarah

Salah satu bentuk klarifikasi yang sering menuai kritik adalah ketika pihak terkait menyatakan bahwa mereka “tidak mengetahui adanya aktivitas tersebut.” Ini terasa tidak masuk akal apabila aktivitas yang dimaksud terjadi di lingkungan yang seharusnya mereka awasi.

Analogi yang muncul dalam podcast cukup menarik: seperti seseorang yang bilang tidak tahu siapa yang mencuri roti, padahal tangannya masih penuh remah dan meses. Salma menekankan bahwa klarifikasi yang baik bukan tentang mencari aman, tetapi menunjukkan integritas. Bahkan, pernyataan yang jujur dan mengakui kesalahan sering kali mendapatkan simpati dari publik. Namun, kejujuran pun ada batasnya. Mengatakan “Saya memang bodoh, sudah begitu saja,” meskipun jujur, justru bisa memperburuk persepsi.

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Dari episode ini, ada beberapa poin penting yang bisa diambil:

  1. Klarifikasi yang efektif tidak bisa asal-asalan. Ia harus menunjukkan rasa tanggung jawab dan
  2. Transparansi dan empati adalah dua komponen penting dalam komunikasi
  3. Netizen semakin kritis dan tidak mudah dikelabui oleh pernyataan-pernyataan yang klise atau
  4. Gaya komunikasi perlu disesuaikan, tidak terlalu formal, tapi juga tidak terkesan main-

Kesimpulan

Episode perdana podcast Humas, Humasin Aja! berhasil menunjukkan bahwa dunia kehumasan bukan sekadar menulis “permintaan maaf.” Ini adalah kerja komunikasi strategis yang memerlukan sensitivitas, empati, dan ketepatan bahasa. Dengan pendekatan yang segar dan mudah dipahami, podcast ini tidak hanya memberikan wawasan, tetapi juga menghibur, yang membuktikan bahwa dunia humas bisa dibahas dengan cara ringan dan menyenangkan, tanpa kehilangan esensinya.

Sumber : https://drive.google.com/drive/folders/19jd3pfqiXg60T3ADD14HyEq3ivaxUTnU

Leave A Comment