Mengapa Keindahan Pegunungan Himalaya Kini Kian Sulit Disaksikan?

Last Updated: 28 Mei 2025By Tags: ,

Mengapa Pegunungan Himalaya Kini Semakin Sulit Dinikmati Keindahannya?

Keindahan alam Himalaya semakin terhalang oleh kabut asap tebal yang menggantung di langit, membuat panorama yang dulu begitu menakjubkan kini nyaris tak terlihat. Mungkinkah di masa mendatang kita hanya dapat menikmati keindahan gunung tertinggi di dunia ini lewat gambar, lukisan, atau kartu pos?

Sebagai seseorang yang tumbuh di Kathmandu, ibu kota Nepal, saya memiliki kenangan kuat akan pemandangan Himalaya yang menawan. Namun, setiap kali kembali ke kampung halaman, harapan saya untuk menyaksikan kembali pemandangan itu sering pupus.

Kini, bahkan pada musim semi dan gugur yang biasanya cerah, langit tetap tertutup kabut akibat tingkat polusi udara yang tinggi. Jarak pandang pun terus menurun.

Pengaruh Polusi pada Transportasi dan Wisata

Pada bulan April, pesawat yang saya tumpangi harus berputar hampir dua puluh kali di udara sebelum bisa mendarat di Bandara Kathmandu karena kabut tebal yang mengganggu visibilitas. Hotel tempat saya menginap biasanya menawarkan pemandangan pegunungan di pagi hari, namun selama dua minggu saya tinggal, tak sekalipun saya melihat puncak gunung menjulang.

Di Nagarkot, lokasi populer untuk menyaksikan matahari terbit, pemandangan Himalaya kini nyaris tak terlihat. Yogendra Shakya, pengelola hotel lokal, mengatakan bahwa ia tak lagi mempromosikan tempat itu sebagai spot terbaik melihat matahari terbit dan pegunungan. Ia kini menekankan nilai sejarah dan budaya daerah sebagai daya tarik utama.

Saat saya berkunjung ke wilayah Annapurna setahun sebelumnya, saya pun gagal melihat Himalaya. Fenomena ini ternyata bukan hanya perasaan pribadi. Para ilmuwan menyebut kabut asap yang menyelimuti wilayah ini semakin pekat dan bertahan lebih lama, sehingga visibilitas menurun drastis.

Penyebab Kabut Asap yang Mengganggu Pemandangan

Kabut asap terbentuk dari gabungan polutan seperti debu dan partikel hasil pembakaran. Kabut ini menggantung lebih lama selama musim kemarau, yang kini juga bertambah panjang akibat perubahan iklim.

Sebelumnya, Maret hingga Mei dan Oktober hingga November adalah musim yang ideal untuk berkunjung karena langit cenderung cerah. Namun, sekarang musim semi pun diselimuti kabut tebal sejak Desember, membuat waktu kunjungan ideal kian menyempit.

Dampak Langsung ke Industri Pariwisata

Banyak pelaku wisata merasakan dampaknya. Lucky Chhetri, pendiri komunitas pendaki perempuan di Nepal, mengaku usahanya merosot hingga 40%. Tahun lalu, ia bahkan harus memberikan kompensasi kepada tamunya karena gagal menunjukkan Himalaya akibat kondisi cuaca.

Wisatawan seperti John Carrol dari Australia juga menyuarakan kekecewaan. Ia telah berkunjung ke Nepal puluhan kali sejak 1986, namun kini merasa pemandangan yang dulu memukau semakin langka.

Krishna Acharya, ketua asosiasi agen pendakian di Provinsi Gandaki, mengungkapkan bahwa banyak pemandu mulai kehilangan harapan dan mempertimbangkan pindah profesi karena “tanpa gunung, tak ada bisnis”.

India dan Pakistan Juga Terdampak

Di India, khususnya wilayah Uttarakhand yang berbatasan dengan Himalaya tengah, kabut asap menjadi lebih tebal dan datang lebih awal. Malika Virdi, pengelola bisnis wisata lokal, menyatakan musim kering yang panjang dan pola hujan yang tak menentu turut memperburuk situasi.

Meski pengunjung masih datang, banyak dari mereka tidak bisa melihat pegunungan dan harus kembali lagi untuk mencoba peruntungan.

Sementara itu, di bagian barat Himalaya yang termasuk wilayah Pakistan, dampaknya tidak separah di Nepal dan India karena lokasinya yang relatif jauh dari kota. Namun, masyarakat setempat mengaku bahwa pemandangan pegunungan juga semakin jarang terlihat dari kota seperti Peshawar dan Gilgit.

Akar Masalah dan Ancaman Serius dari Polusi

Asia Selatan kerap menempati posisi teratas sebagai wilayah dengan kualitas udara terburuk di dunia. Penyebab utama antara lain emisi kendaraan dan industri, pembakaran sampah secara terbuka, serta debu dari pembangunan infrastruktur.

Kondisi diperparah oleh jelaga dari kebakaran hutan dan praktik pembakaran sisa tanaman oleh petani di India, Pakistan, dan Nepal. Fenomena inversi termal, yang menahan udara panas di atas lapisan udara dingin, memperparah penumpukan polusi di atmosfer.

Someshwor Das dari Asosiasi Meteorologi Asia Selatan menjelaskan bahwa kabut asap dan badai debu kini semakin sering terjadi dan diperkirakan akan terus meningkat akibat perubahan iklim dan aktivitas manusia.

Data dari Departemen Hidrologi dan Meteorologi Nepal menunjukkan lonjakan signifikan jumlah hari berkabut di bandara Pokhara, dari hanya 23 hari pada 2020 menjadi 168 hari pada 2024.

Himalaya: Simbol Alam yang Terancam

Para ahli kini percaya bahwa Himalaya mungkin adalah salah satu pegunungan paling terdampak polusi di dunia, mengingat lokasinya di kawasan padat penduduk dengan tingkat pencemaran tinggi.

Akibatnya, panorama Himalaya yang dahulu memukau kini hanya bisa disaksikan melalui dokumentasi lama atau karya seni. Para pelaku wisata lokal merasa bersalah karena tak mampu memenuhi ekspektasi wisatawan yang datang untuk menyaksikan keindahan gunung tersebut secara langsung.

“Kami merasa berdosa ketika tak bisa memperlihatkan keindahan Himalaya yang seharusnya dinikmati klien kami. Tapi kami pun tak berdaya melawan kabut asap ini.”

Sumber : detiknews

Berita selengkapnya dapat anda akses melalui aruna9news.com

Leave A Comment