Militer Israel Ikuti Trend Foto Ghibli
Penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk membuat gambar bergaya Studio Ghibli oleh militer Israel (IDF) telah memicu perdebatan sengit di media sosial. Ini terjadi pada saat yang sangat sensitif, mengingat latar belakang konflik yang sedang berlangsung di Gaza. Apa yang perlu diperhatikan pertama-tama adalah pemahaman kita tentang nilai-nilai budaya yang dibawa oleh Studio Ghibli dan sang pendirinya, Hayao Miyazaki.
Miyazaki, yang dikenal dengan karya-karyanya yang penuh dengan pesan anti-perang, penghormatan terhadap kehidupan, serta kritik tajam terhadap militarisme dan otoritarianisme, telah lama menonjolkan betapa menghancurkannya perang bagi kemanusiaan. Karya-karya seperti Grave of the Fireflies dan Howl’s Moving Castle tidak hanya menggambarkan penderitaan akibat konflik, tetapi juga menunjukkan kedalaman rasa kemanusiaan dalam menghadapi kekerasan. Dalam konteks ini, mencocokkan estetika Ghibli dengan narasi militer jelas sangat bertentangan—bahkan terasa ironis. Bagaimana mungkin simbol yang menggambarkan kedamaian dan empati bisa dipakai untuk memperkuat citra militer, terutama dalam konteks konflik berdarah yang melibatkan banyak korban sipil?
Lebih jauh lagi, fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana teknologi, khususnya kecerdasan buatan, dapat digunakan untuk mempengaruhi cara kita memandang dunia. AI memungkinkan penciptaan gambar yang sangat realistis, namun hal ini juga membawa tantangan etis, terutama dalam hal bagaimana perang digambarkan. Menggunakan gambar militer Israel yang dimodifikasi dengan gaya Ghibli untuk menampilkan tentara sebagai sosok heroik memberikan kesan bahwa kekerasan dan perang bisa dibungkus dengan cara yang indah dan menarik. Ini bukan sekadar manipulasi visual, tetapi juga bisa menjadi bentuk manipulasi psikologis, mengaburkan realitas perang yang sesungguhnya, terutama di media sosial yang lebih mudah memengaruhi perasaan kita dibandingkan dengan data statistik atau fakta-fakta kekerasan yang nyata.
Fenomena ini juga berhubungan dengan apa yang dalam kajian media disebut sebagai weaponization of image—penggunaan gambar untuk memengaruhi opini publik dengan cara yang tidak mencerminkan kenyataan yang ada. Dengan membuat visual yang terkesan bersih dan indah, ada kecenderungan untuk menutupi kekejaman perang yang sedang berlangsung dan menciptakan jarak emosional antara publik dengan realitas penderitaan yang dialami oleh korban. Ini bisa dilihat sebagai salah satu bentuk normalisasi kekerasan, di mana dampak sosial dan moral dari tindakan militer menjadi lebih tereduksi, seolah-olah perang menjadi sesuatu yang bisa diterima, atau bahkan dipandang sebagai sesuatu yang estetis.
Di sisi lain, respon dari pengguna media sosial yang membuat gambar serupa untuk menggambarkan penderitaan warga Palestina dengan latar belakang kehancuran adalah bentuk counter-narrative. Ini adalah upaya untuk mengembalikan perhatian dunia pada kenyataan tragis di Gaza, yang bertentangan dengan narasi yang coba dibentuk melalui gambar-gambar ini. Penggunaan AI oleh warga Palestina untuk menggambarkan realitas mereka menunjukkan bagaimana teknologi, yang bisa digunakan untuk mengaburkan kenyataan, juga bisa dipakai untuk memperlihatkan kebenaran tentang dampak perang yang sesungguhnya.
Secara keseluruhan, kejadian ini memperlihatkan bagaimana teknologi, khususnya AI, memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk narasi sosial dan politik. Teknologi bukanlah entitas yang netral—ia dipengaruhi oleh ideologi dan kekuatan yang mengendalikannya. Ini menegaskan pentingnya kesadaran kritis dalam memanfaatkan teknologi dalam konteks konflik, serta bagaimana kita sebagai konsumen media harus lebih bijak dalam menerima dan memahami pesan yang disampaikan melalui gambar dan informasi yang kita terima.
by Elizabeth Gabryela S
Berita selengkapnya dapat Anda akses melalui aruna9news.com
Sumber: https://elizabethgabryela.wordpress.com/2025/04/04/militer-israel-ikuti-trend-foto-ghibli/